Empat huruf ini mempunyai goresan arti yang buruk di setiap manusia. Bahkan menyebabkan trauma mendalam bagi beberapa orang. Saya percaya setiap orang pernah berharap dalam hidupnya dan harapan itu tidak datang seperti yang diharapkan. Kecewa? Saya yakin.
Mungkin ingin mati rasanya saat menginginkan sesuatu keajaiban namun seperti sinar keajaiban itu tidak muncul. Kerongkongan tiba-tiba mengering, kaki terasa lemah, ulu hati kita bereaksi dan menyebabkan kita mual ingin muntah. Perut kita terasa kosong dan mata kita berkunang-kunang sambil berlinang air mata kesedihan luar biasa. Saya teringat sebuah cerita di jaman Nazi ketika seorang wajah anak kecil ditodongkan pistol di hadapan orang tuanya dan orang banyak. Seorang penonton berkata, "Jika ada Tuhan, di mana Dia sekarang?". Pertanyaan yang putus asa dan di lain pihak adalah pertanyaan yang seolah benar saat itu. Singkat cerita, anak itu mati dengan wajah pecah hancur berantakan dan sangat menggenaskan. And everybody disappointed with God that time. "There is no hope. He's dead by now," kata seorang yang lain. Itu salah satu contoh ekstrim dari sebuah kekecewaan akan tindakan berharap.
Kisah lain yang sering kita temui adalah ketika seorang anak miskin berharap ingin sekolah dan bercita-cita menjadi insinyur, pilot, dokter bahkan presiden. Ayahnya seorang pemungut sampah dan ibunya tukang kue keliling. Ayahnya berjanji kepada sang anak di usia ke enam akan menyekolahkannya di sekolah negeri yang katanya murah itu. Tapi seperti kita tahu berapa penghasilan seorang pemungut sampah dan tukang kue keliling. Meski pun disatukan tidak akan cukup untuk biaya sekolah. Bahkan ironisnya tidak cukup untuk membeli peralatan sekolahnya saja. Rasanya konyol mengharapkan keajaiban turun dari langit seketika. Alhasil anak itu tidak sekolah sampai remaja dan end up-nya hanya menjadi tukang ngamen di bis-bis kota. Itu pun kalau dia tidak jadi preman atau perampok. Just named it. Lagi-lagi harapan itu tidak terjawab. Derasnya air mata sang anak, si ayah dan si ibu tidak sanggup menurunkan uang rupiah dari langit. Kosong. Hampa. Sia-sia.
The question is. Di mana harapan? Di mana keadilan? Where the unlimited love is? And at the end, where is God? Does He exist? Atau Dia hanya diperuntukan bagi orang-orang yang tidak pernah berharap. Atau terbatas hanya bagi orang kaya yang bergelimangan kesenangan? Atau hanya untuk para pendeta yang suka berkhotbah dan seluruh keluarganya dalam keadaan baik? Itu pertanyaan di benak setiap orang dan mungkin pernah terlintas di benak kita. Harapan sepertinya tidak menjadi pilihan lagi bagi orang-orang seperti di atas.
Teruslah bertanya karena dengan begitu kita tidak akan pernah menemukan jawabannya. Harapan itu bukanlah sesuatu yang harus dipertanyakan. Pejamkan mata kita, renungkan gelapnya sekeliling kita dan kita akan menemukan betapa hebat harapan itu. Luangkan waktumu melihat ke atas langit tempat kita bernaung sepanjang detik selama beberapa menit saja, kita akan merasakan betapa dashyatnya harapan itu. Tataplah matamu dalam-dalam saat berada di depan cermin, kamu akan menemukan betapa luar biasanya harapan itu ada jauh di dalam dirimu. Tersembunyi namun luar biasa.
Harapan tidak bisa dihentikan di saat kita 'berhenti' (a.k.a mati, dalam kasus anak kecil yang ditembak). Kematian anak kecil itu justru meletakkan api harapan di hati setiap orang yang melihat kejadian itu. Begitu juga dengan kisah pemungut sampah itu. Tidakkah harapan itu membakar hati terdalam setiap orang yang mendengar cerita tersebut. Hitunglah berapa triliyun rupiah yang telah disumbangkan akibat hati para dermawan yang bergetar karena kisah-kisah tersebut. Bahkan mereka turut menangis dan berdoa bagi mereka yang kekurangan. Kita bisa mati, kita bisa terkurung, namun harapan itu bebas. Tidak terikat ruang.
Harapan tidak pernah mengecewakan mereka yang memegang teguh harapannya. Mungkin tidak terlihat secepat yang kita inginkan, namun believe it or not, it will comes to you, to us. Ribuan bahkan jutaan orang hidup berharap, namun mereka menyerah di tengah jalan sampai akhirnya menjadi sia-sia. Tapi lihatlah ada juga segelintir orang yang bertahan mati-matian dan tetap berharap sampai akhir hidupnya. Hasilnya adalah kamu dan saya. Yang hidup di bumi ini dalam keadaan masih bernafas dan memiliki kesempatan untuk berharap sekali lagi demi menghidupi kehidupan orang lain lebih baik kelak. Ya, saya katakan kita ini adalah hasil dari harapan orang-orang di masa lampau. Dari mereka yang hidup ribuan tahun lalu, dari mereka yang mati ditembak demi kebenaran dan kebaikan, dari mereka yang memberikan darahnya, dari mereka yang menangis siang malam, dari mereka yang disiksa, dari mereka yang terus berharap. Tidakkah kita menyadari hal itu? Pertanyaan bukan di manakah Tuhan, tapi di manakah pengharapan kita?