Setelah absen menyetor tulisan di blog selama lebih dari setengah tahun, kangen juga untuk menulis lagi. Sekedar sedikit menggoreskan kata-kata.
Mmh, beberapa minggu lalu gue baru selesai baca sebuah buku berjudul 'In His Image (1984)'. Buku ini karangan duo Philip Yancey, seorang jurnalis kristen bersama Dr. Paul Brand, seorang dokter yang telah lebih dari 40 tahun mengabdikan dirinya untuk para penyandang penyakit kusta di India. Dalam buku ini mereka mengungkapkan betapa ajaibnya tubuh manusia dan tentu saja betapa ajaib Penciptanya. Setiap sel di dalam tubuh kita setiap detik berjuang untuk membuat kita hidup. Menurut survei, organ tubuh manusia yang sehat, tidak pernah merokok atau meminum alkohol, bisa bertahan sampai usia 80 tahun dengan fungsi yang sangat baik. Okay, balik ke buku In His Image. Sebut saja misalkan manusia tergores sesuatu dan menyebabkan luka berdarah, sekitar 4 juta sel darah langsung dikerahkan tubuh untuk bekerja keras untuk merajut kembali bagian yang luka itu. Bukan hanya memberikan kesembuhan, tapi sel-sel tersebut memberikan semacam memori kalau-kalau di masa mendatang tubuh kita mengalami luka yang sama. Itu sebabnya kalau kita mengalami sebuah luka yang sama untuk kedua atau ketiga kalinya, misalkan tergores pisau cukur, respon tubuh kita lebih tenang daripada saat luka yang pertama.
Sebagai seorang dokter penyakit kusta, Dr. Paul Brand sudah bertemu dengan berjuta-juta orang penderita kusta. Ada sebuah hal menarik yang disampaikan Paul setelah pengalamannya bersama para penderita kusta. FYI, kusta adalah sebuah penyakit di mana tubuh manusia sudah tidak bisa lagi merasakan rasa sakit. Akibatnya para penderita kusta tersebut seringkali secara tidak sengaja melukai dirinya sendiri. Misalkan dia tidak sadar kalau kakinya pecah-pecah akibat jalan terlalu jauh atau tidak sadar ketika kakinya tertusuk duri saat berada di antara semak-semak. Melihat kenyataan ini, Paul merasa heran ketika ratusan juta manusia 'normal' di dunia (mereka yang tidak terkena penyakit kusta) menginginkan hidup tanpa rasa sakit. Mereka berusaha mencari cara untuk tidak sakit, bahkan pernah ada seorang pasien Paul yang meminta untuk di'gunting' saraf rasa sakitnya. Padahal ribuan para penyakit kusta itu ingin sekali bisa merasakan sakit kembali. "Pain is a gift," kata Philip Yancey.
Sebagai salah seorang manusia 'normal' yang berada di kerumunan ratusan juta orang yang ingin menghindari rasa sakit, dengan sedikit malu, saya harus mengakui kalau rasa sakit itu memang sebuah pemberian setelah membaca buku ini. Rasa sakit membuat kita menyadari kalau diri kita ini manusia yang senantiasa memerlukan 'obat'. Baik berupa pertolongan di kala susah, lingkungan sekitar, atau pun Tuhan. Rasa sakit juga membuat kita tahu posisi kita adalah sebagai manusia dan bukan sebagai Tuhan.
Di akhir tulisan ini gue cuma mau bilang sesuatu yang sering gue bilang ke orang-orang. "Kita tidak akan pernah merasa sembuh/disembuhkan kalau tidak pernah merasa sakit. Dan kita tidak akan pernah bisa tertawa kalau tidak pernah menangis."