Thursday, October 4, 2007

I put my trust in You ...

Kadang memang susah untuk percaya akan sesuatu yang tidak kita lihat dengan mata kita. Mungkin karena di kiri kanan kita, sudah ada begitu banyak kebohongan dan akhirnya sedikit banyak itu berdampak kepada cara kita percaya dan memandang Tuhan yang kasat mata. Pengaruh film, media, dan bla bla bla. Well, i do believe trust is a gift. If you want to trust something or someone, you have to give it. Just give it ... lay it all down and trust it. Mudah dibicarakan tapi susah dilakukan. Seperti halnya pertama kali kita naik halilintar. Pertama takut, tapi begitu dicoba, malah ketagihan. Saya tidak pernah lupa akan sebuah cerita tentang seorang buta yang meletakkan seluruh kepercayaannya kepada seekor anjing yang tidak bisa diajak bicara. Awalnya dia tidak buta. Anjing ini dipelihara sejak kecil. Suatu hari terjadi kecelakaan hebat di rumahnya dan seluruh keluarganya meninggal. Rumahnya pun rata dengan tanah. Yang tertinggal hanya dirinya yang menjadi buta dan anjing peliharaannya itu. Setiap pagi orang buta ini selalu dituntun ke sebuah stasiun kereta untuk pergi meminta-minta di daerah lain dan setiap sore anjing itu selalu menunggu di stasiun yang sama dan menuntun si buta ke gubuknya sampai akhir hayatnya.

Ada situasi di mana sepertinya Tuhan pergi meninggalkan kita. Terkadang kita malah jadi berpikir jangan-jangan Tuhan itu tidak ada. Gue percaya Tuhan ada. Buktinya apa? Gue punya segudang alasan untuk bersyukur atas hidup gue ... sejuta alasan untuk bilang kalau Tuhan itu baik buat hidup gue. Perkara adanya keinginan gue yang tidak terkabul, tidak lantas membuat gue boleh berpikir Tuhan jahat. Gue percaya segala sesuatu terjadi di dunia ini tidak pernah lepas dari pandangan mata Tuhan. Termasuk kehidupan gue di dalamnya.

Wednesday, September 26, 2007

Goodnight Jess. Sweet dream ...

Jessica Bianca Logor adalah seorang teman dan sekaligus seorang adik. Sebenarnya gue tidak terlalu dekat dengan dia. Cuma dulu, waktu baru pertama kali kenal (tahun 2004an), sering teleponan aja. Gue ingat dia suka curhat tentang pelayanan. Dia suka merasa boring dengan anak-anak di pelayanan. Katanya terlalu rohani. Selalu bicara tentang Yesus, Yesus dan Yesus. Dari kata-katanya gue bisa simpulkan kalau dia itu tadinya anak dari komunitas yang cukup gaul dan sekarang mulai terlibat di dalam anak-anak yang notabene berjuang menjauhi 'keduniawian'. Mungkin karena gue pun berasal dari lingkungan yang sama, jadi gue agak bisa mengerti dengan 'kerterkekangan' dan kebosanan dia. Sebagai seorang senior yang baik, otomatis gue cuma bisa mendengarkan ceritanya dia dan sesekali gue kasih nasihat supaya jangan menjauhi komunitas rohaninya, karena di tempat inilah kita bisa dibangun. Banyak yang bilang Jessica orangnya suka ngambekan, moody, dan susah diatur. Gue sejujurnya tidak melihat dia seperti itu. Gue cuma merasa dia perlu orang yang mau kasih telinganya untuk mendengar cerita-cerita dia. That simple. Memang kadang mendengar cerita orang itu kadang bukan hal yang menyenangkan, apalagi kalau ceritanya selalu berpusat pada diri di pencerita terus menerus. Tapi itu yang gue kagum dari Tuhan. Dia taruh 2 telinga di kepala kita, sebagai tanda secara langsung kalau kita memang diciptakan untuk lebih banyak mendengar.

Sampai suatu hari gue denger berita-berita miring tentang gue dan Jessica. Katanya gue deketin dialah atau apalah itu. Gue sendiri nggak ngerti kenapa orang-orang berpikir begitu, padahal tidak pernah terlintas di kepala gue hal seperti itu. Gue cuma coba berteman aja. Mungkin karena memang karena background gue yang jelek, makanya orang-orang selalu melihat the bad side about me. Gue bisa mengerti akan hal itu. Well, akhirnya gue mulai menjauhi dia. Terutama kalau sudah mulai curhat. Sepertinya dia juga merasakan hal yang sama, dia pun menjauh. Gue ketemu dengan dia kalau sedang di gereja aja. No more, no less. Tapi gue tidak pernah lupa selalu kasih selamat kalau dia ultah, minimal lewat sms.

Ternyata tidak terasa ya 3 tahun lewat begitu aja. Kadang kita merasa waktu berjalan lambat, kadang kita merasa waktu berlalu begitu cepat. And abrakadabra ... gue mulai sering melihat Jessica aktif di berbagai kegiatan pelayanan. Mulai dari menjadi dancer di gereja, jadi pemimpin persekutuan dan memiliki beberapa anak PA. Kegiatan terakhirnya, dia jadi salah satu anggota sie konsumsi, drama dan dancer untuk Youth Camp 1000 pelajar. Kebetulan dia dibawah supervisi gue. Dan harus gue akui dia memang suka ijin tidak datang kalau ada rapat. Tapi dia tidak pernah lupa untuk telpon gue menanyakan hasil rapat dan apa yang harus dia lakukan. Setelah acara Youth Camp-nya sudah lewat bulan Agustus kemaren semua berjalan seperti biasa lagi. Kembali ke pelayanan masing-masing. Gue kemudian mendengar berita kalau dia meninggal dari Dolly. Oh ya, dia suka memanggil gue Cina Idol. Entah kenapa dia panggil gue kayak itu. Aneh juga denger kata itu awal-awalnya. Dan ke depannya mungkin akan agak aneh lagi, karena gue tidak akan pernah denger kata-kata itu lagi.

Setelah Dolly kasih tau di mana Jessica saat itu, gue langsung cepat-cepat ke sana dengan motor gue. Pas gue sampai, sudah banyak orang yang menangis. Suasananya sangat haru. Apalagi kalau mendengar ayahnya yang sesekali berteriak tidak merelakan kepergian Jessica yang terlalu cepat, rasanya hati pengen ikutan menjerit. Gue dengan tenang langsung menuju tempat dia terbaring. Dari jauh gue bisa liat kepalanya diperban putih dan dari leher ke bawah juga sudah dibungkus kain putih. Di sisinya ada ibunya yang tidak henti-hentinya menangis dan memegang tangan Jessica. Gue mendekat dan langsung melihat ke muka Jessica. Gue pandang dia selama 3-4 menit, gue pegang kepalanya yang sudah mulai mengeras dan kemudian keluar dari ruangan itu dan bertanya ke teman-teman gue yang udah datang duluan apa sebab dia meninggal.

Apa yang gue rasa? Apa ya ... gue saat itu hati gue menangis keras, tidak rela dia pergi, ada sedikit sesak di dada gue, ingin mengeluarkan air mata, bingung harus melakukan apa, berharap hari itu cepat berlalu dan gue merasa diri gue sampah tidak berguna. Hari yang sangat aneh buat gue ... Goodnight Jess. Sweet Dream! When you wake up, everything will be alright.

Itu aja sepertinya yang bisa gue ceritakan tentang Jessica dari kacamata gue.

Yang bisa gue katakan adalah di luar sana ada begitu banyak Jessica-Jessica lain yang kata orang suka ngambek, susah diatur, menyebalkan, moody dan tidak bisa diandalkan. Sebenarnya mereka hanya perlu telinga orang lain yang mau mendengarkan dan orang yang bersabar. Maukah kita berikan sebuah telinga untuk mendengar dan bersabar untuk mereka?

Wednesday, June 6, 2007

Surat dari Seorang Sahabat

(Pernah ada satu waktu di mana seorang sahabat menuliskan ini kepada sahabatnya)


Aku menulis untuk mengatakan betapa Aku memperhatikanmu dan betapa Aku ingin engkau mengenalKu lebih baik.

Ketika engkau bangun tadi pagi, Aku melemparkan seberkas sinar matahari melalui jendelamu karena ingin memperoleh perhatianmu. Engkau bergegas. Kemudian Aku melihatmu berjalan bercakap-cakap dengan beberapa kawan. Aku memandikanmu dalam sinar matahari yang hangat. Aku mengharumkan udara dengan semerbak alam. Engkau tetap bergegas, tidak mempedulikanKu.

Kemudian Aku meneriakimu dengan angin taufan dan Aku melukis bagimu sebuah pelangi yang indah di langit. Engkau hanya memandang sekilas dan terus bergegas.

Malam itu Aku menjatuhkan cahaya bulan di wajahmu. Aku mengirim angin sejuk untuk menenangkanmu dan menyingkirkan rasa takutmu. Aku memandangimu sementara engkau tidur. Aku juga menanggung beban pikiranmu. Sedikit banyak engkau sadar bahwa Aku dekat.

Aku telah memilihmu. Aku mempunyai tugas khusus untukmu. Kuharap engkau mau berbicara kepadaKu segera. Aku hanya membawamu melalui badai, yang lain tidak menyaksikan pagi hari.

Aku tetap dekat ... Aku kawanmu ... Aku sangat mengasihimu.


Your bestfriend,

Jesus

Monday, May 28, 2007

My desert, my victory ...

Pernah kuterpikir bahwa Kau telah meninggalkanku
Sempat terlintas di benakku Kau menjauh dariku

Aku berjalan dan langkahku menjadi sangat berat
Aku merasa hampa di tengah keramaian
Terbentur tembok kesepian dan menabrak dinding kehampaan

Setelah sekian lubang kusandung dan sekian batu kuinjak, akhirnya kusadari ...

Kau sedang menggendongku keluar dari dalam terowongan kelam itu
Kau melingkupiku dengan jubahMu dari debu pasir yang ingin merusak mataku
Kau menjagaku siang malam tanpa henti meski tidak kurasakan diriMu
Kau memelukku dan menahan segala serangan panah dari si jahat

Kaulah yang setia dan tetap setia.

Wednesday, February 21, 2007

HOPE

Empat huruf ini mempunyai goresan arti yang buruk di setiap manusia. Bahkan menyebabkan trauma mendalam bagi beberapa orang. Saya percaya setiap orang pernah berharap dalam hidupnya dan harapan itu tidak datang seperti yang diharapkan. Kecewa? Saya yakin.

Mungkin ingin mati rasanya saat menginginkan sesuatu keajaiban namun seperti sinar keajaiban itu tidak muncul. Kerongkongan tiba-tiba mengering, kaki terasa lemah, ulu hati kita bereaksi dan menyebabkan kita mual ingin muntah. Perut kita terasa kosong dan mata kita berkunang-kunang sambil berlinang air mata kesedihan luar biasa. Saya teringat sebuah cerita di jaman Nazi ketika seorang wajah anak kecil ditodongkan pistol di hadapan orang tuanya dan orang banyak. Seorang penonton berkata, "Jika ada Tuhan, di mana Dia sekarang?". Pertanyaan yang putus asa dan di lain pihak adalah pertanyaan yang seolah benar saat itu. Singkat cerita, anak itu mati dengan wajah pecah hancur berantakan dan sangat menggenaskan. And everybody disappointed with God that time. "There is no hope. He's dead by now," kata seorang yang lain. Itu salah satu contoh ekstrim dari sebuah kekecewaan akan tindakan berharap.

Kisah lain yang sering kita temui adalah ketika seorang anak miskin berharap ingin sekolah dan bercita-cita menjadi insinyur, pilot, dokter bahkan presiden. Ayahnya seorang pemungut sampah dan ibunya tukang kue keliling. Ayahnya berjanji kepada sang anak di usia ke enam akan menyekolahkannya di sekolah negeri yang katanya murah itu. Tapi seperti kita tahu berapa penghasilan seorang pemungut sampah dan tukang kue keliling. Meski pun disatukan tidak akan cukup untuk biaya sekolah. Bahkan ironisnya tidak cukup untuk membeli peralatan sekolahnya saja. Rasanya konyol mengharapkan keajaiban turun dari langit seketika. Alhasil anak itu tidak sekolah sampai remaja dan end up-nya hanya menjadi tukang ngamen di bis-bis kota. Itu pun kalau dia tidak jadi preman atau perampok. Just named it. Lagi-lagi harapan itu tidak terjawab. Derasnya air mata sang anak, si ayah dan si ibu tidak sanggup menurunkan uang rupiah dari langit. Kosong. Hampa. Sia-sia.

The question is. Di mana harapan? Di mana keadilan? Where the unlimited love is? And at the end, where is God? Does He exist? Atau Dia hanya diperuntukan bagi orang-orang yang tidak pernah berharap. Atau terbatas hanya bagi orang kaya yang bergelimangan kesenangan? Atau hanya untuk para pendeta yang suka berkhotbah dan seluruh keluarganya dalam keadaan baik? Itu pertanyaan di benak setiap orang dan mungkin pernah terlintas di benak kita. Harapan sepertinya tidak menjadi pilihan lagi bagi orang-orang seperti di atas.

Teruslah bertanya karena dengan begitu kita tidak akan pernah menemukan jawabannya. Harapan itu bukanlah sesuatu yang harus dipertanyakan. Pejamkan mata kita, renungkan gelapnya sekeliling kita dan kita akan menemukan betapa hebat harapan itu. Luangkan waktumu melihat ke atas langit tempat kita bernaung sepanjang detik selama beberapa menit saja, kita akan merasakan betapa dashyatnya harapan itu. Tataplah matamu dalam-dalam saat berada di depan cermin, kamu akan menemukan betapa luar biasanya harapan itu ada jauh di dalam dirimu. Tersembunyi namun luar biasa.

Harapan tidak bisa dihentikan di saat kita 'berhenti' (a.k.a mati, dalam kasus anak kecil yang ditembak). Kematian anak kecil itu justru meletakkan api harapan di hati setiap orang yang melihat kejadian itu. Begitu juga dengan kisah pemungut sampah itu. Tidakkah harapan itu membakar hati terdalam setiap orang yang mendengar cerita tersebut. Hitunglah berapa triliyun rupiah yang telah disumbangkan akibat hati para dermawan yang bergetar karena kisah-kisah tersebut. Bahkan mereka turut menangis dan berdoa bagi mereka yang kekurangan. Kita bisa mati, kita bisa terkurung, namun harapan itu bebas. Tidak terikat ruang.

Harapan tidak pernah mengecewakan mereka yang memegang teguh harapannya. Mungkin tidak terlihat secepat yang kita inginkan, namun believe it or not, it will comes to you, to us. Ribuan bahkan jutaan orang hidup berharap, namun mereka menyerah di tengah jalan sampai akhirnya menjadi sia-sia. Tapi lihatlah ada juga segelintir orang yang bertahan mati-matian dan tetap berharap sampai akhir hidupnya. Hasilnya adalah kamu dan saya. Yang hidup di bumi ini dalam keadaan masih bernafas dan memiliki kesempatan untuk berharap sekali lagi demi menghidupi kehidupan orang lain lebih baik kelak. Ya, saya katakan kita ini adalah hasil dari harapan orang-orang di masa lampau. Dari mereka yang hidup ribuan tahun lalu, dari mereka yang mati ditembak demi kebenaran dan kebaikan, dari mereka yang memberikan darahnya, dari mereka yang menangis siang malam, dari mereka yang disiksa, dari mereka yang terus berharap. Tidakkah kita menyadari hal itu? Pertanyaan bukan di manakah Tuhan, tapi di manakah pengharapan kita?

Thursday, January 11, 2007

What is Pain?

Setelah absen menyetor tulisan di blog selama lebih dari setengah tahun, kangen juga untuk menulis lagi. Sekedar sedikit menggoreskan kata-kata.

Mmh, beberapa minggu lalu gue baru selesai baca sebuah buku berjudul 'In His Image (1984)'. Buku ini karangan duo Philip Yancey, seorang jurnalis kristen bersama Dr. Paul Brand, seorang dokter yang telah lebih dari 40 tahun mengabdikan dirinya untuk para penyandang penyakit kusta di India. Dalam buku ini mereka mengungkapkan betapa ajaibnya tubuh manusia dan tentu saja betapa ajaib Penciptanya. Setiap sel di dalam tubuh kita setiap detik berjuang untuk membuat kita hidup. Menurut survei, organ tubuh manusia yang sehat, tidak pernah merokok atau meminum alkohol, bisa bertahan sampai usia 80 tahun dengan fungsi yang sangat baik. Okay, balik ke buku In His Image. Sebut saja misalkan manusia tergores sesuatu dan menyebabkan luka berdarah, sekitar 4 juta sel darah langsung dikerahkan tubuh untuk bekerja keras untuk merajut kembali bagian yang luka itu. Bukan hanya memberikan kesembuhan, tapi sel-sel tersebut memberikan semacam memori kalau-kalau di masa mendatang tubuh kita mengalami luka yang sama. Itu sebabnya kalau kita mengalami sebuah luka yang sama untuk kedua atau ketiga kalinya, misalkan tergores pisau cukur, respon tubuh kita lebih tenang daripada saat luka yang pertama.

Sebagai seorang dokter penyakit kusta, Dr. Paul Brand sudah bertemu dengan berjuta-juta orang penderita kusta. Ada sebuah hal menarik yang disampaikan Paul setelah pengalamannya bersama para penderita kusta. FYI, kusta adalah sebuah penyakit di mana tubuh manusia sudah tidak bisa lagi merasakan rasa sakit. Akibatnya para penderita kusta tersebut seringkali secara tidak sengaja melukai dirinya sendiri. Misalkan dia tidak sadar kalau kakinya pecah-pecah akibat jalan terlalu jauh atau tidak sadar ketika kakinya tertusuk duri saat berada di antara semak-semak. Melihat kenyataan ini, Paul merasa heran ketika ratusan juta manusia 'normal' di dunia (mereka yang tidak terkena penyakit kusta) menginginkan hidup tanpa rasa sakit. Mereka berusaha mencari cara untuk tidak sakit, bahkan pernah ada seorang pasien Paul yang meminta untuk di'gunting' saraf rasa sakitnya. Padahal ribuan para penyakit kusta itu ingin sekali bisa merasakan sakit kembali. "Pain is a gift," kata Philip Yancey.

Sebagai salah seorang manusia 'normal' yang berada di kerumunan ratusan juta orang yang ingin menghindari rasa sakit, dengan sedikit malu, saya harus mengakui kalau rasa sakit itu memang sebuah pemberian setelah membaca buku ini. Rasa sakit membuat kita menyadari kalau diri kita ini manusia yang senantiasa memerlukan 'obat'. Baik berupa pertolongan di kala susah, lingkungan sekitar, atau pun Tuhan. Rasa sakit juga membuat kita tahu posisi kita adalah sebagai manusia dan bukan sebagai Tuhan.

Di akhir tulisan ini gue cuma mau bilang sesuatu yang sering gue bilang ke orang-orang. "Kita tidak akan pernah merasa sembuh/disembuhkan kalau tidak pernah merasa sakit. Dan kita tidak akan pernah bisa tertawa kalau tidak pernah menangis."